Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger


Thursday, February 3, 2011

Rezim Husni Mubarak yang zalim jadi alasan utama demonstran melancarkan revolusi jalanan. Gerakan massa di Kairo juga mirip aksi di Tunisia yang sukses menggulingkan presidennya. Kairo bakal berdarah-darah layaknya Tunisia.
Unjuk rasa besar-besaran mulai Selasa (25/1) sampai Rabu (26/1) dilakukan serempak di se­jum­lah kota di Mesir. Pihak ke­ama­nan kelelahan dan kewalahan ber­jibaku dalam demonstrasi ter­besar Mesir beberapa tahun ter­akhir. Kemarahan rakyat bisa di­mengerti karena rezim otoriter Pre­siden Hosni Mubarak tidak mam­pu menyelesaikan krisis eko­nomi yang berkepanjangan.
Dalam demonstrasi kemarin, sedikitnya dua demonstran dan seorang polisi tewas setelah ter­­li­bat baku hantam. “Turun­kan Hos­ni Mubarak, turunkan sang tiran. Ka­­­mi tidak mengi­nginkan eng­kau!” teriak para de­monstran di Kairo, ibukota Mesir.
Demonstrasi massal di Mesir itu terinspirasi oleh gerakan mas­sa di Tunisia beberapa pekan se­belumnya. Didera masalah se­rupa, yaitu mahalnya harga ke­bu­tuhan pokok dan tingginya ting­kat pengangguran, rakyat Tunisia berhasil membuat presiden yang telah berkuasa selama 23 tahun, Zine Ben Ali, jatuh dan kabur keluar negeri pada 14 Januari.
Ketidakpuasan atas lamban­nya pemerintahan Mubarak meng­atasi krisis ekonomi mem­buat se­bagian kalangan di Mesir ma­rah. Mereka juga tidak tahan di­tekan rezim Mubarak, yang di­anggap selalu bertindak se­we­nang-we­nang dan otoriter.
Para demonstran kom­pak me­nyebut aksi Selasa ke­marin sebagai hari “revolusi atas pe­nyiksaan, kemiskinan, korupsi, dan pe­ngangguran.” Belum ada ke­pastian apakah demonstrasi akan terus berlanjut. Tapi meru­juk pada eskalasi kerusuhan di Tunisia, Kairo dan kota lainnya di Mesir terancam lebih “ber­darah-darah”.
“Ini merupakan kali pertama saya ikut unjuk rasa. Kami sudah menjadi bangsa penakut, namun akhirnya kami berani menga­takan tidak,” kata Ismail Syed, seorang pekerja hotel yang hanya mendapat upah sekitar 50 dolar AS per bulan atau tidak sampai Rp 500 ribu.
“Kami ingin perubahan, sama seperti di Tunisia,” kata Lamia Rayan.
Sementara itu, pemerintah menyesalkan sikap anarkis para pengunjuk rasa sehingga terjadi bentrokan. “Ada yang sampai melempar batu ke polisi dan yang lainnya berbuat rusuh dan meru­sak properti negara,” demikian pernyataan Kementerian Dalam Negeri. Karena itulah, menu­rutnya, pemerintah harus meng­ambil tindakan keras.
Hampir setengah dari total populasi Mesir yang berjumlah 80 juta jiwa hidup di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan, yang menurut standar PBB ada­lah 2 dolar AS per hari. Meluas­nya kemiskinan, tingginya ting­kat pengangguran dan inflasi harga pangan menjadi tantangan besar bagi rezim Mubarak.
Selain itu, Mesir juga meng­alami ketegangan antara kaum Muslim dengan Kristen Koptik.
Mubarak telah memerintah Mesir sejak 1981 dan kini sudah berusia 82 tahun. Namun, dia be­lum menentukan sikap apakah akan kembali mencalonkan diri se­bagai presiden untuk enam ta­hun berikut atau memilih pensiun.
Menyusul aksi demo yang melanda Mesir, putra Presiden Mesir Hosni Mubarak, Gamal Mubarak, pergi meninggalkan negeri itu beserta keluarganya. Gamal bersama istri dan anak perempuannya bertolak menuju London, Inggris.
Menurut situs berbahasa Arab yang berbasis di AS, Akhbar al-Arab, pesawat yang mengangkut Gamal dan keluarganya bertolak dari sebuah bandara di Kairo barat pada Selasa, 25 Januari waktu se­tempat. Demikian se­perti di­lansir media The Times of India, Rabu (26/1/2011). [RM]